Senin, 26 Desember 2011

Pandangan Etika Terhadap Praktek Bisnis Curang

Etika berarti pandangan hidup atau pedoman bagaimana sebaiknya berlaku. Jadi, etika bisnis adalah bagaimana pandangan hidup atau bagaimana sebaiknya berlaku dalam bisnis. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan subjek. Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Sebagai contoh sebuah perusahaan alas kaki asal Amerika serikat yang dijual di sejumlah mal elite di Jakarta, ditengarai menerapkan praktik dumping harga. Untuk itu, pengusaha alas kaki nasional akan melakukan investigasi awal atas dugaan praktik bisnis curang itu. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Singgih Witarso mengungkapkan sepatu yang dijual dengan harga sangat murah itu diproduksi dan diekspor oleh perusahaan subkontrak di China. Dia menilai penjualan obral sepatu merek Cxxxx di sejumlah mal elit, termasuk di Senayan City, Jakarta baru-baru ini berpotensi mendistorsi pasar domestik dan menggerus pangsa pasar produsen lokal. Singgih mengakui sampai sekarang belum menemukan bukti dan data yang akurat atas dugaan praktik dumping eksportir sepatu dari China, terutama merek Cxxxx, terlebih hubungan sebab akibat (causal link) antara praktik dumping dan kerugian (injury) yang dialami pabrikan lokal seperti penurunan penjualan, kemerosotan produksi, penurunan harga dan sebagainya. Sesuai dengan penjanjian antidumping Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bukti-bukti dumping dan causal link dengan kerugian produsen di dalam negeri merupakan salah satu syarat pokok bagi produsen lokal untuk mengajukan petisi dumping atas produk impor. Produk impor layak ditengarai menerapkan dumping jika harga di pasar ekspor (luar negeri) lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar domestik (negara asal). Menurut Singgih, sepatu bermerek Cxxxx sewajarnya dijual dengan harga berkisar Rp500.000 - Rp700.000 per pasang. Namun, di Senayan City, Jakarta, rata-rata diobral Rp100.000 per pasang. Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Ansari Bukhari mengaku prihatin atas maraknya peredaran produk sepatu impor dengan harga murah kendati pemerintah telah menerbitkan Permendag No. 56/2008 untuk mengendalikan impor.

Menurut saya solusi untuk contoh diatas, pemerintah seharusnya lebih ketat lagi menerapkan aturan tentang barang-barang impor. Pemerintah juga harus lebih selektif dalam pemilihan barang-barang impor, jangan menerima barang impor yang kualitasnya sama dengan produk lokal. Jika hal itu sampai terjadi maka akan membunuh produk lokal, karena masyarakat kita sangat konsumtif terhadap barang impor padahal barang-barang impor tersebut ada juga yang buatan lokal.

Referensi
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/manufaktur/1id114795.html